Lompat ke isi utama

Berita

Quasi Peradilan pada Sekretariat Panwaslih Abdya

Aceh Barat Daya, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan kewenangan fungsi Bawaslu yang lengkap, mulai dari melakukan pengawasan dan pencegahan, fungsi penindakan, hingga fungsi quasi peradilan melalui proses ajudikasi. Dalam melaksanakan fungsi quasi peradilan Bawaslu menyelesaikan sengketa proses yang terjadi antara  peserta pemilu dengan  KPU selaku penyelenggara pemilu maupun antar sesama peserta pemilu. Untuk itu diperlukan penguatan baik dari sisi SDM dan juga kelembagaan guna mempersiapkan dan memfasilitasi  dalam menangani penyelesaian sengketa proses pemilihan umum dan pemilihan Kepala Daerah.

Salah satu catatan dalam penyelenggaraan pemilu serentak adalah terkait sistem keadilan pemilu  atau electoral justice system. Saat ini proses sistem keadilan pemilu kewenangannya berada di beberapa lembaga, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan di Bawaslu dengan fungsi quasi peradilan (semi peradilan).

"Menyiapkan ruang dan perlengkapan serta mengkoordinir asisten adjudikasi, notulensi, perisalah, petugas keamanan dan staf pendukung yang terlibat selama proses adjudikasi berlangsung, menyiapkan konsep SK Pimpinan/Majelis musyawarah dan lain lain",

Dalam Pemilu 2019 ada signifikansi atau makna penting terkait kewenangan ajudikasi Bawaslu dengan rendahnya permohonan sengketa ke MK. Tahun 2014 jumlah permohonan PHPU di MK sebanyak 902, sementara tahun 2019 sebanyak 340. Ini menunjukkan sisi positif dari kewenangan ajudikasi Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa proses. Sedangkan Bawaslu jauh lebih banyak lantaran Bawaslu menangani sengketa administrasi mulai dari penyusunan DPT (daftar pemilih tetap), dimulainya tahapan pemilu hingga penghitungan suara.

Bawaslu sudah bisa dibilang menjalankan peradilan pemilu karena jumlahnya dalam menangani kasus administrasi sangat banyak dan berat sebenarnya dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) beberapa waktu lalu, MK banyak menolak permohonan pemohon dengan alasan sudah pernah diputus Bawaslu melalui putusan administrasinya.

pengaturan subjek pemohon sengketa pemilihan dari partai politik (parpol) atau gabungan parpol dalam Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 dinilai sudah tidak relevan jika dikaitkan dengan subjek pemohon berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. perlu konsep alur penyelesaian sengketa antarpeserta pemilihan disesuaikan dengan karakteristiknya lewat pengaturan yang mengacu mekanisme penyelesaian sengketa antar-peserta (PSAP) pemilu. Konsep alur musyawarah dalam penyelesaian sengketa pemilihan tetap dibuka peluang untuk terjadinya kesepakatan pada setiap tahapan musyawarah

Muh.Risnain (Fakultas Hukum UNPAD Bandung) dalam “Jurnal Hukum dan Peradilan”, vol.3 (1/3/2014 ) yang berjudul EKSISTENSI LEMBAGA QUASI JUDISIAL DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA : KAJIAN TERHADAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Istilah lembaga quasi-judisial di Indonesia diperkenalkan Jimly Asshidiqie dalam Makalah beliau yang berjudul Pengadilan Khusus yang dimuat dalam website pribadi beliau. Menurut beliau perkembagan kekuasaan kehakiman diIndonesia di era reformasi disamping tumbuh dan berkembangnya pengadilan khusus juga berkembang lembaga-lembaga quasi-pengadilan atau semi-pengadilan.Istilah quasi-pengadilan menunjuk pada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili dan memutus sebuah perkara tetapi sebenarnya bukanlah pengadilan. Kekuatan putusan lembaga-lembaga quasi-pengadilan sama dengan putusan pengadilan bahkan terdapat putusan lembaga-lembaga tersebut yang putusannya bersifat final and bindingsama dengan putusan pengadilan yang bersifat “inkracht”. Lembaga-lembaga Quasi-Judisial dimaksud antara lain : Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Komisi Informasi Daerah (KID),Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Ombudsman Republik Indonesia

Jimly Assidiqie dalam makalahnya penulis mengambil beberapa kriteria sebuah lembaga yang dikategorikan sebagai quasi-judicial yaitu :

  1. Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power to exercise judgement and discretion);
  2. Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or to ascertain facts and decide);
  3. Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to make binding orders and judgements);
  4. Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang. (The power to affect the personal or property rights of private persons);
  5. Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan. (The power to examine witnesses, to compel the attendance of witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing);
  6. Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties).

Tugas Bawaslu kabupaten/kota diantaranya melakukan pencegahan, pengawasan, penindakan dan penyelesaian sengketa proses Pemilu di wilayah kabupaten/kota, sebagaimana diatur Pasal 101 UU Pemilu. Sumber dugaan pelanggaran pemilu dalam Pasal 454 ayat (1) UU tentang Pemilu berasal dari temuan pelanggaran pemilu dan laporan pelanggaran pemilu, sedangkan jenis pelanggaran Pemilu ada 4 yaitu, kode etik, administratif, tindak pidana pemilu dan pelanggaran hukum lainnya. Berdasarkan Pasal 102 ayat (2) huruf (d) dan Pasal 103 huruf (c) UU Pemilu, Bawaslu kabupaten/kota memiliki tugas memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, yang secara teknis diatur dalam Perbawaslu No. 8/2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu. Penyelesaian sengketa proses dan penindakan pelanggaran administratif pemilu ini yang menjadi praktik dari quasi peradilan dari Bawaslu.

Dengan kewenangan Bawaslu yang makin membesar lewat amanah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Tak hanya menjadi pengawas, Bawaslu pun punya kewenangan sebagai pengadil pemutus perkara kepemiluan. Salah satunya terkait Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) yang didefinisikan Pasal 466 UU Pemilu 7/2017 sebagai sengketa proses sebagai sengketa yang terjadi antara calon maupun peserta pemilu dengan keputusan KPU selaku penyelenggara pemilu. Peran Bawaslu dalam memutuskan PSPP adalah sebagai quasi pengadilan.

Kewenangan menangani sengketa proses pemilu yang dipunya Bawaslu ini tentu berbeda dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kewenangan MK yang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat dalam empat domain. Pertama, kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, kedua memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan ketiga memutus pembubaran partai politik. Keempat, kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilu. Dengan begitu, MK tidak berwenang menangani sengketa proses pemilu.

Bawaslu punya lima tugas saat melaksanakan PSPP. Mulai dari menerima permohonan, melakukan verifikasi secara formil dan materiil permohonan sengketa proses pemilu. Kemudian, melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa. Tugas keempat, melakukan proses ajudikasi PSPP. Dan terakhir, memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

Pada penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019, Panwaslih Aceh Barat Daya pernah melakukan proses Mediasi dengan no putusan hasil Mediasi 01/PS/PWSL.ABD.01.07/VIII/ 2018 dan proses Adjudikasi dengan nomor putusan Adjudikasi 02//PS/PWSL.ABD.01.07/VIII/ 2018.

Penulis: Koordinator Sekretariat Panwaslih Aceh Barat Daya (Haris Firmansyah, SHI)

Tag
Opini